HUKUM DAN ETIKA PEMERINTAHAN

Dalam dua perode pemerintahan terakhir ini (perode 2004-2009 dan perode 2009-2014), banyak sekali kejanggalan-kejanggalan yang kita temukan di dalam ranah perpolitikan di negeri ini. Kasus korupsi yang tak mampu teratasi, suap demi perlindungan hukum yang semakin marak terjadi di kalangan elit politik, bermunculnya mafia hukum, mafia keuangan negara dan lain-lain. Menurut hemat saya, hal itu tidak serta merta terjadi karena prinsip kenegaraan yang dianut oleh bangsa Indonesia. Bahkan prinsip yang dianut adalah bagian kecil dari penyebab maraknya berbagai persoalan pemerintahan yang tak henti-hentinya dibicarakan oleh berbagai kalangan di negera Indonesia.

Kalau kita meninjau sejumlah penjelasan tentang sekelumit permasalahan yang timbul, maka hukumlah yang akan menjadi akhir dari segala perbincangan yang dibangun. Ada apa dengan hukum kita? Apakah sistem hukum Indonesia berbeda dengan sistem hukum di negara-negara lain yang notabenenya adalah negara demokrasi? Bagaimana kita melihat negara Korea Selatan yang secara teori, sistem pemerintahan yang mereka anut sama dengan Indonesia,  sama-sama meniru sistem pemerintahan yang berinduk di negara Amerika Serikat.

Masih dalam kaitannya dengan sistem pemerintahan yang sudah pasti di dalamnya menyangkut persoalan penegakkan hukum sebagai satu sistem yang tak terlepas dari pelaksanaan pembangunan dan juga proses kenegaraan. Yang lebih penting dari itu adalah hukum merupakan parameter tindakan yang sudah, sedang dan akan dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat sebagai suatu penunjang utama dalam proses pelaksanaan pembangunan negara.

Di ranah hukum kita, begitu banyak terdapat kejanggalan-kejanggalan baik yang muncul akibat ketidak seriusan aparatur dalam menegakkan aturan maupun sebagai refleksi dari tidak efektifnya kinerja Yudikatif. Memang sebagai suatu sistem, kolaborasi antara sejumlah instansi itu sangat diperlukan, tapi bagaimana dengan kolaborasi yang terjadi di luar aturan sebagai bagian dari transaksi politik yang tentu merugikan kalangan masyarakat sebagai konsumen hukum? Banyak perspektif yang bermunculan yang kesemuanya itu sarat akan kritikan-kritikan, baik untuk kalangan eksekutif, legislatif maupun yudikatif bahkan hubungan dari ketiganya.

POLITIK DAN POLITIKUS

Politik, adalah satu kata yang selalu ada dalam benak kita ketika kita melihat, atau mendengar sejumlah persoalan yang menyangkut eksistensi negara Indonesia ditinjau dari berbagai aspek, mulai dari aspek ekonomi, sosial, budaya sampai pada aspek religi. Hal apa yang paling utama melintas dalam pikiran kita jika bermunculan sejumlah persoalan-persoalan politik di negeri ini yang tak kunjung usai? Persepsi setiap orang tentulah berbeda-beda, tetapi bagaimana jika penulis mengatakan bahwa itu adalah persoalan KEPENTINGAN? Setujukah anda dengan pernyataan saya tersebut?

Kata kepentingan merupakan satu pokok persoalan yang tak henti-hentinya diperbincangkan oleh banyak kalangan di negeri ini dan partai politik adalah pemicu utamanya menurut saya. Kenapa saya mengatakan demikian, padahal partai politik merupakan suatu wahana para elit kita terutama saat perebutan singgasana kekuasaan yang mereka inginkan? Bukankan partai politik juga memiliki ideologi dan konsep yang sangat manis ketika diperdenganrkan  pada masyarakat? Hal ini merupakan sesuatu yang patut diperbincangkan dan dicari solusinya demi menemukan tujuan demokrasi yang sesungguhnya.

Perspektif ilmu pengetahuan tentang politik Indonesia adalah untuk melakukan pencapaian tujuan yang menjadi dasar ideologi dan tujuan-tujuan lain mengikuti perkembangan zaman yang menyangkut pendidikan demi menciptakan generasi yang tak hanya mampu bertahan hidup melainkan mampu untuk bersaing di ranah global.

Nah, kembali pada proses perpolitikan Indonesia yang selalu menuai kritik dari sejumlah kalangan, hal yang menurut saya lucu tentang kolaborasi antara politisi dan partai politik adalah ketika kita melihat seorang politisi yang begitu gigihnya berjuang dalam partainya dengan dalih untuk memperjuangkan ideologi partai lalu tiba-tiba dia pindah ke partai lain yang berbeda ideologi lalu kembali berjuang sebagaimana dia berjuang di partainya yang lama dengan dalih yang sama. Secara prinsip pasti politisi tersebut tidak berjuang karena ideologinya maupun ideologi partai melainkan karena ambisinya untuk mendapatkan suatu kekuasaan yang bertujuan untuk menguntungkan diri sendiri dan golonganya. Alangkah lucunya ketika kita sebagai insan intelek menyaksikan hal semacam itu. Terlalu naif jika politisi semacam itu berani mengatakan "memperjuangkan idealisme".

Interaksi politik yang berlangsung sejak awal masuknya Indonesia ke gelanggang reformasi, boleh dibilang jauh lebih terpuruk ketimbang masa orde baru. Banyaknya partai politik yang turus serta meramaikan ritual demokrasi sejak tahun 1999 telah melahirkan sejumlah permasalahan-permasalah politik baik antar partai politik maupun masalah dalam internal partai itu sendiri. Ada partai politik yang dengan gagah berani mengibarkan bendera kesejahteraan masyarakat maritim, agraris. Ada partai yang mengibarkan bendera perdamaian, ketentraman hidup berbangsa dan bernegara, dan lain sebagainya. Secara teori, hal itu memang sangat bagus karena suatu negara adalah merupakan sebuah sistem, harus ada saling keterikatan antara sejumlah ideologi dalam proses pencapaian tujuan, terlebih lagi antara subsistem harus ada keseimbangan dalam upaya mencapai tujuan bangsa. Tapi bagaimana mungkin hal itu bisa tercapai jika antara sub sistem tidak ada kekompakan bahkan yang muncul adalah saling menjatuhkan satu sama lain antara satu parpol dengan parpol yang lain, antara seorang politisi dengan politisi yang lain.

Seorang ahli pernah mengatakan bahwa politik itu memiliki dua sifat, yaitu sifat ular dan merpati. Dalam proses perebutan kekuasaan tak ada seorang pun politisi yang menunjukkan karakter ularnya, semua berlomba-lomba memberikan bumbu penyedap dalam setiap kampanye demi mendapatkan simpati masyarakat, tetapi setelah itu barulah muncul karakter ular yang diam-diam selalu menjadi predator di negeri sendiri. Hal itu telah terbukti di negara Indonesia saat ini. Kejujuran dan keadilan hanyalah menjadi konsep yang akan dipajang di mading dan bukan lagi disimpan di hati lalu diimplementasikan.

Sampai kapankan Indonesia akan seperti itu? Haruskan kita melakukan pergantian sistem? Ataukan kita biarkan saja berharap suatu saat akan berubah?